JAKARTA,www.wowbabel.com - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar pada Rabu 5 April 2023 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konsitusi (MK).
Sidang pengujian UU Pemilu untuk Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 kali ini beragendakan mendengar keterangan dua ahli yang dihadirkan Pemohon, yakni Pengajar Hukum Tata Negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STH Indonesia Jentera) Fritz Edward Siregar, dan Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Agus Riewanto.
Dilansir dari situs MK, Fritz Edward Siregar dalam sidang mengatakan perubahan dalam sebuah demokrasi konstitusional adalah bagian dari suatu proses yang sangat penting untuk memastikan perlindungan, dan pemajuan prinsip-prinsip demokrasi yang berkelanjutan.
Menurutnya ketika perubahan dibuat untuk mendukung proses demokrasi, maka perubahan tersebut berkontribusi pada ketahanan sistem demokrasi itu sendiri.
Baca Juga: Akhirnya MK Tolak Seluruh Gugatan Uji Materiil UU Pers
“Selama perubahan ini dilakukan melalui proses yang transparan, inklusif, dan partisipatif yang menghormati norma-norma konstitusional dan nilai-nilai demokrasi, maka perubahan tersebut diperlukan untuk kelangsungan fungsi dan pertumbuhan demokrasi konstitusional kita. Dan perubahan yang saya maksud adalah perubahan dari sistem proporsional terbuka kepada sistem proporsional tertutup.” ujar Fritz.
Fritz yang juga Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Periode 2017-2022 menjelaskan proses pemungutan suara, dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara adalah proses yang rumit, melelahkan dan sangat berpotensi kepada kesalahan.
Proses pemungutan suara di mana harus memilih calon, dengan daftar nama, sangat berpotensi menyebabkan suara tidak sah. Pada pemilu 2019, jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953, atau setara 11,12%.
Ia menjelaskan proses penghitungan suara juga terkena dampak akibat pilihan sistem proporsional terbuka. Proses penghitungan yang memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar.
“Potensi manipulasi suara rentan terjadi pada proses penghitungan suara dalam proses pencatatan pada kolom nama calon atau nama partai. Dalam proses rekapitulasi, persoalan yang sering terjadi TPS pada saat rekapitulasi adalah perpindahan suara dari satu calon kepada calon lain dalam satu partai,” jelas Fritz.
“Dan perubahan melaksanakan pemilu dengan sistem propostional tertutup, menjadi salah satu cara yang efektif untuk menghilangkan politik uang dalam proses pemilu.” Tegas Fritz di hadapan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusional lainnya.
Sementara itu Agus Riewanto dalam persidangan secara daring mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tidak sesuai kehendak konstitusi.
“Sehingga patut dinyatakan inkonstitusional,” ujar Agus.
Menurut Agus, sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan pelembagaan organisasi partai politik (parpol) di negara demokrasi. Bentuk pelemahan pelembagaan parpol dari bangunan sistem proporsional terbuka, antara lain calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih dalam pemilu tidak berperilaku dan bersikap terpola untuk menghormati lembaga parpol, karena merasa yang menentukan terpilihnya bukan melalui organisasi parpol melainkan berbasis suara terbanyak.
Artikel Terkait
Wajibkah Ketua MK Anwar Usman Mundur Usai Nikahi Adik Jokowi
Putusan MK Tentang Presidential Treshold Adalah Sebuah Tragedi Demokrasi