Ada hal yang menjadi dilema di Bangka Belitung adalah budaya masyarakat yang unkonsistent terhadap pekerjaannya. Artinya masyarakat akan meninggalkan profesi yang telah dijalani selama ini dan akan beralih ke kegiatan penambangan ketika harga komoditas timah tinggi.
Seperti nelayan , petani bahka pekerja-pekerja lainnya yang bekerja pada sektor informal, mereka berduyun-duyun berpindah ke sektor petambangan, dengan asumsi mendapat uang lebih cepat dan lebih besar.
Ketika kondisi tersebut terjadi maka jumlah nelayan yang menangkap ikan dilaut akan semakin berkurang dan jumlah tangkapanpun ikut berkurang, sedangkan jumlah permintaan tidak mengalami perubahan, yang akhirnya mekanisme pasarlah yang akan terjadi.
Baca Juga: Kurang dari 24 Jam, Jasa Raharja Serahkan Santunan Kepada Ahli Waris Achmad Hermanto Dardak
Yaitu rendahnya penawaran dan tingginya permintaan maka akan berdampak kepada tingginya harga jual yang di tawarkan, berujung menjadi komoditas pembentuk inflasi. Ikan yang menjadi konsumsi yang paling diminati di Bangka Belitung kebanyakan adalah ikan selar dan ikan tenggiri yang selain untuk konsumsi rumah tangga juga dikonsumsi untuk produksi bahan baku makanan olahan ikan seperti otak-otak, tekwan, empek-empek, kerupuk dan sebagainya.
Demikian halnya dengan petani, tingginya harga cabai selain dipicu oleh kondisi cuaca yang membuat gagal panen dan harga pupuk yang mahal sehingga tidak imbang dengan biaya operasional, banyak petani juga beralih profesi menjadi penambang ketika harga timah sedang tinggi.
Sehingga dengan jumlah produksi yang dilemparkan kepasaran sedikit sedangkan permintaan tetap stabil maka menjadi pembentuk tingginya harga cabai.
Tidak hanya pada komoditas harga timah yang menyebabkan pergeseran sektor pekerjaan oleh para nelayan dan petani dan pekerja informal lainnya, seperti jika harga lada, sawit dan karet tinggipun, mereka akan mencoba mengambil upah dengan menjadi tenaga kerja harian untuk membantu memanen komoditas perkebunan tersebut dengan upah yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Musda V KNPI Bangka Selatan Ricuh Gegara Dualisme PK, Ini Kata Dua Calon Ketua Arie dan Agam
Budaya lainnya dari masyarakat Bangka Belitung adalah ketika memiliki pendapatan yang tinggi dari kenaikan harga komoditas-komoditas unggulan, maka sifat konsumtif menjadi meningkat seperti membeli kendaraan bermotor, perabotan rumah tangga, dan bahan-bahan sandang dan pangan.
Apalagi jika mendekati hari besar keagamaan, maka eforia merayakannya dengan membeli kebutuhan lebaran sangat tinggi sekali dan melaksanakan perayaan hari besar keagamaan dengan meriah.
Pemicu inflasi lainnya adalah harga tiket pesawat yang tinggi, dimana setiap hari besar keagaamaan baik agama islam maupun hari besar agama non islam, membudayakan masyarakat Bangka Belitung yang berada di luar daerah merasa wajib untuk berkumpul bersama keluarga.
Selain itu Bangka Belitung merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia, bahkan masuk dalam 10 destinasi prioritas nusantara, sehingga tingkat kunjungan wisatawan pun cukup signifikan setelah pandemic covid 19, jumlah permintaan lebih tinggi dari jumlah maskapai yang melayani rute Bangka Belitung (pgk dan tjq) sehingga harga tiket pesawat pun menjadi pemicu.
Baca Juga: Rayakan HUT Ke 31, SMAN 3 Pangkalpinang Gelar GESS Festival
Bagaimana dengan daya beli masyarakat? Secara teori daya beli masyarakat yang memiliki pendapatan tetap akan mengalami penurunan jika harga barang-barang mengalami kenaikan. Namun untuk kondisi di Bangka Belitung, ketika harga komoditas tambang dan perkebunan mengalami kenaikan maka daya beli masih terjaga walaupun terjadi peningkatan harga jual.
Artikel Terkait
Inflasi Bangka Belitung Tembus 7 Persen, Jokowi Ingatkan Hati - hati
Jokowi Sentil Inflasi Babel Tinggi, Ini Respon Pj Gubernur Bangka Belitung
Inflasi Bangka Belitung Tinggi, Pengamat Ekonomi Katakan Ini