Oleh: Yolanda Oktavia - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
OPINI,wowbabel.com - Tahun 2022 lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Tahun 2022 lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kritik utama atas pembahasan Perppu Cipta Kerja adalah praktik legislasi kilat dan minus partisipasi bermakna.
Pada pembentukan peraturan perundang-undangan ini telah membangkitkan konflik yang problematik karena banyak yang berpandangan bahwa UU Cipta Kerja banyak menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia.
Diantaranya seperti kurangnya partisipasi publik, hingga jumlah halaman rancangan undang-undang yang tersebar dengan berbagai versi halaman yang menimbulkan kebingungan publik.
Penulis berpandangan bahwa dengan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja membuktikan pemerintah, terutama Presiden tidak memiliki iktikad baik untuk mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan MK tersebut, salah satu amarnya berbunyi “memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen”. Dengan kata lain, menyikapi dari amar putusan tersebut lebih diutamakan untuk memperbaiki Perppu Cipta Kerja, apalagi MK telah memberikan jangka waktu selama 2 tahun sejak putusan. Waktu yang sangat cukup apabila pemerintah berinisiasi memperbaiki.
Lantas, pandangan yang terjadi dimasyarakat menilai bahwa Perppu Cipta Kerja hanya akan membawa “bahaya”. Hal ini lantaran terdapat lima masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat jika pemerintah tidak mencabut Perppu tersebut.
Pertama,pasar tenaga kerja yang fleksibel. Dalam penjelasan Perppu Cipta Kerja, disebutkan bahwa alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya lantaran penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang dimana sebanyak 81,33 juta orang atau 59,97 persen bekerja pada kegiatan informal.
Kedua, politik upah murah. Skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan, sebagaimana tercantum dalam pasal 88 C Perppu Cipta Kerja dan pasal 25 ayat (2) PP Nomor 36/2021, merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.
Ketiga, perluasan sistem outsourcing. Merujuk pada UU Ketenagakerjaan, pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi. Sedangkan dalam Perppu Cipta Kerja, penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya, tidak ada lagi.
Dengan begitu, Perppu dinilai bisa memberikan peluang bagi perusahaan alih daya untuk bisa memberikan berbagai tugas kepada pekerja, hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang.