Kebijakan Pembatasan HAM Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 yang Sesuai Dengan Konstitusi Indonesia

- Rabu, 9 Juni 2021 | 04:42 WIB
Amsal Simanjuntak (CPNS Kanwil Kemenkumham Babel – Formasi Pemeriksa Keimigrasian).(ist)
Amsal Simanjuntak (CPNS Kanwil Kemenkumham Babel – Formasi Pemeriksa Keimigrasian).(ist)

Oleh: Amsal Simanjuntak (CPNS Kanwil Kemenkumham Babel – Formasi Pemeriksa Keimigrasian)


Pada awal tahun 2020, organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menyatakan wabah penyakit akibat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi global. Dalam perkembangannya wabah penyakit Covid-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak virus Covid-19 harus membuat kebijakan yang bukan hanya untuk mencegah dan memulihkan orang yang terinfeksi Covid-19, tetapi juga harus membuat kebijakan untuk mengatasi dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat. 

Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menangani Covid-19 adalah dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Kebijakan PSBB mempunyai kompleksitas isu HAM yang menarik karena berimplikasi kepada pembatasan hak. Ada yang mengatakan kalau pelarangan mudik itu bertentangan dengan HAM karena melanggar Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Disinilah pentingnya tulisan ini mengungkap bahwa pembatasan hak dalam keadaan darurat bukanlah pelanggaran HAM. Dalam diskursus HAM, dikenal istilah derogable rights yang berarti dalam kondisi tertentu hak dapat dibatasi pemenuhannya dan non-derogable rights yang berarti hak tidak dapat dibatasi pemenuhannya dalam kondisi apapun.

Konstitusi sebagai Pelindung HAM

Konstitusi adalah aturan tertinggi dalam suatu negara, dimana di dalamnya terdapat prinsip dasar penyelenggaraan negara serta jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya perlindungan HAM dalam penyelenggaraan negara. Konsep jaminan perlindungan terhadap HAM di dalam konstitusi bermakna bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara pun dilarang melakukan pelanggaran HAM dan justru tugas utama perlindungan HAM menjadi tanggungjawab negara.

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dasar perlindungan HAM di Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) alinea ke-IV, Bab XA UUD NRI 1945 dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Nomor 26 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Demikian pula ditegaskan pada Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang menyatakan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dalam hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”.

Komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui UUD NRI Tahun 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Namun perlu diketahui bahwa HAM yang diatur dalam konstitusi dapat dilakukan limitasi sepanjang diatur dalam undang-undang. Dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa HAM dapat dibatasi, namun pembatasan tersebut tidak boleh diskriminatif, menghambat atau bahkan menghilangkan secara sah kedudukan seseorang di hadapan hukum. Hak yang dapat dibatasi pemenuhannya adalah hak yang dikategorikan dalam derogable rights, dan tidak dibenarkan menerapkan pembatasan terhadap hak yang dikategorikan dalam non-derogable rights.

{separator}

Derogable Rights dan Non-Derogable Rights

Historis pengaturan tentang HAM oleh negara Indonesia sebenarnya telah mendahului pengaturan tentang HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia telah mengatur tentang HAM dalam konstitusi pada tahun 1945, sedangkan PBB mengatur tentang HAM pada tahun 1948 dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia) dan International Covenant on Civil Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang ditetapkan Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 dan dinyatakan berlaku sejak 23 Maret 1976. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, menghargai, serta menjunjung tinggi prinsip dan tujuan dari Piagam PBB dimana DUHAM pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, memutuskan untuk mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada dasarnya memuat ketentuan tentang pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara. Keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia di bidang sipil dan politik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Pertama, jenis hak-hak yang tidak boleh dibatasi (non-derogable rights), yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi meskipun dalam keadaan darurat. Hak ini terdiri atas: a) hak atas hidup; b) hak bebas dari penyiksaan; c) hak bebas dari perbudakan; d) hak bebas dari penahanan karena gagal dalam perjanjian/utang; e) hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut f) hak sebagai subjek hukum; g) hak atas kebebasan berpikir; h) hak kebebasan berkeyakinan dan beragama. Kedua, jenis hak-hak yang boleh dibatasi (derogable rights), yaitu hak-hak yang boleh dibatasi pemenuhannya oleh negara. Hak ini terdiri atas: a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; b) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota organisasi buruh; c) hak atas kebebasan menyatakan pendapat/berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberi informasi dengan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas baik secara lisan maupun tulisan.

Dalam keadaan darurat menghadapi wabah penyakit virus Covid-19, Indonesia sebagai negara pihak ICCPR diperbolehkan untuk mengurangi kewajiban dalam pemenuhan hak derogable rights. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia adalah pemberlakuan PSBB yang membatasi ruang gerak masyarakat untuk berkumpul secara damai. Pembatasan terhadap hak tersebut tidak bersifat diskriminatif dan tidak mengorbankan hak melebihi tujuan yang ingin dicapai.

Halaman:

Editor: Barly Wow

Rekomendasi

Terkini

Seorang Komandan Senior Hizbullah Dibunuh oleh Israel

Selasa, 9 Januari 2024 | 18:30 WIB
X